Hidup Dibawah Naungan Cahaya Islam

Jumat, 13 Juli 2012

Sobat Sejati

Sobat Sejati

  Sobat Sejati
Alhamdulillâhi wahdah, wash shalâtu was salâmu ‘alâ man lâ nabiyya ba’dah.
Berebut klaim sobat sejati
“Kriiing… kriiing… kriiing…”, dering hp tidak henti-hentinya berbunyi nyaring di dekat telinga si A. “Uffhg… siapa sich pagi-pagi buta gini nelpon, mana musim dingin lagi!”, keluh si A sambil ngeliat layar hpnya. Ternyata nama si B, sobat karibnya, yang nampak di hpnya. “Ya…”, jawab si A dengan suara serak-serak orang baru bangun tidur. “Assalamu’alaikum, dah bangun belum? Dah masuk waktu shubuh nich!”, sambung si B membuka pembicaraannya. Sambil ngeliat jam tangannya, si A menjawab, “Oh ya, jazakallah khaira, ente emang sobat sejatiku kawan…”.
“Sstt… ada film baru nich, seru bangeets! Mau gak?” kata si C kepada si D teman akrabnya, ketika ketemu pas istirahat kuliah. “Wah, boleh juga tuh… Film apa? Ane jadi penasaran!”, jawab si D sambil bisik-bisik. “Ntar aja ente liat sendiri, pokoknya seru dech!”, balas si C manas-manasin. “Okelah, ntar ana ke kamar ente ya… Ente bener-benar sobat sejatiku!”, sambut si D menutup obrolan singkat pagi itu.
Dua penggal kisah di atas, para pelakunya sama-sama mengklaim bahwa temannya adalah “sobat sejati”, tapi mana sebenarnya di antara keduanya yang benar-benar sobat sejati? Mungkin tulisan singkat ini bisa sedikit menggambarkan barometer yang tepat untuk menghukumi, siapakah sobat sejati, siapa pula sobat tidak sejati?
Sahabat merupakan kebutuhan penting seorang manusia
Orang Arab berkata, “Al-insân madaniyyun bith thab’i”, alias: “Manusia adalah makhluk sosial”. Ya, manusia adalah makhluk yang dalam kehidupannya sehari-hari membutuhkan interaksi dengan pihak lain dan tidak bisa hidup sendiri. Meskipun intensitas hubungan tersebut relatif dan berbeda dari satu orang ke orang yang lain.
Berhubung tabiat manusia yang demikian, maka Islam pun tidak menghalangi manusia untuk menyalurkan instingnya tersebut. Hanya saja Islam menggariskan rambu-rambu yang dengannya seorang hamba tidak keluar dari jalur syariat dalam berinteraksi dengan sesama.
Banyak cara yang digunakan Islam dalam menyampaikan norma-norma tersebut. Di antaranya adalah dengan cara perbandingan antara teman yang baik dengan teman yang buruk, sebagaimana dalam sabda Rasul shallallahu’alaihiwasallam,
“إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ؛ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً”. متفق عليه.
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, bagaikan penjual minyak wangi dan tukang besi. Penjual minyak wangi, jika ia tidak menghadiahkan padamu minyak wangi, maka engkau akan beli darinya, atau paling tidak engkau akan ketularan harumnya. Sedangkan tukang besi, jika bajumu tidak terbakar akibat terkena percikan api yang ada di tungku besinya, setidak-tidaknya engkau (akan keluar dari tempat kerjanya) dalam keadaan bau asap”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Muslim, dari hadits Abu Musa al-Asy’ari.
   Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan bahwa teman yang baik, bagaimanapun juga akan menguntungkan kita, sedikit atau banyak. Sebagaimana teman yang buruk, apapun kondisinya akan merugikan kita, sedikit atau banyak.
Tapi, siapakah teman yang baik, siapa pula teman yang buruk?
Barometer sobat sejati
Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mungkin melewatkan pembahasan ini dari sorotannya. Ada beberapa ayat dan hadits yang menyinggung hal ini, di antaranya firman Allah ta’ala tatkala menjelaskan kriteria golongan yang selamat dari kerugian,
“وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ”.
Artinya: “Mereka saling nasehat-menasehati dalam kebenaran”. QS. Al-’Ashr: 3.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا! قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ”. متفق عليه.
“Bantulah saudaramu ketika ia berbuat zhalim atau ketika ia dizhalimi!”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, membantu saudara kita ketika dizhalimi sudah maklum buat kami, tapi apa maksudnya membantu dia ketika ia berbuat zhalim?”. Beliau menjawab, “Engkau cegah ia”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Bukhari, dari hadits Anas bin Malik.
Sedikit banyaknya, ayat dan hadits di atas serta dalil-dalil lain yang senada, sudah mulai menggambarkan kepada kita barometer sobat sejati.
Salah satu kriteria utama sobat sejati adalah: senantiasa mengajak kita kepada kebaikan dan tidak tinggal diam ketika kita terjerumus kepada kesalahan. Namun, jika sebaliknya, maka ini adalah salah satu indikasi terbesar bahwa dia bukanlah sobat sejati kita. Waspadalah!
-            Sobat sejati bukanlah yang mengajak kita untuk menghabiskan waktu dalam hal-hal yang kurang bermanfaat; semisal main game sepanjang hari, sampai-sampai shalat berjama’ah di masjid rela untuk dikorbankan demi kelangsungan permainan tersebut![1]
-            Sobat sejati bukanlah yang mendoktrin kita untuk membangun wala’ dan baro’ (cinta dan benci karena Allah) di atas kepentingan yayasan, ormas, partai atau almamater.
-            Sobat sejati bukanlah yang diam seribu kata dan enggan untuk mengingatkan kita, tatkala melihat kita terjerumus dalam suatu kesalahan, entah itu kesalahan dalam akidah, ibadah, manhaj dakwah maupun akhlak; dengan dalih menjaga tali ukhuwah.
-            Sobat sejati bukanlah yang tidak malu atau canggung untuk berbagi-bagi media maksiat kepada kita, semisal file film, cd tontonan tidak layak, bluetooth tidak berpendidikan, kaset musik, literatur ahlul bid’ah, dll.
-            Sobat sejati bukanlah yang mencontohkan kepada kita untuk sering absen dari perkuliahan.
Namun…
-            Sobat sejati adalah: ia yang tidak bosan mengajak kita berlomba-lomba dalam menimba ilmu.
-            Sobat sejati ialah: yang senantiasa mengajak kita semangat untuk beribadah.
-            Sobat sejati adalah: yang tidak bakhil untuk nelpon atau sekedar missed call di waktu-waktu shalat, terutama Ashar dan Shubuh.
-            Sobat sejati ialah: yang tidak segan untuk menegur kita dengan bahasa yang santun, jika kita keliru.
Tapi, sobat sejati juga ialah yang:
-          Jika kita berpapasan dengannya, maka ia bersegera untuk mengucapkan salam, berjabat tangan dan bermuka manis.
-          Jika kita tertimpa kesusahan, maka ia menunjukkan rasa empatinya.
-          Jika kita sedang ada masalah, ia berpengertian untuk meluangkan waktunya untuk mendengar curahan isi hati kita, juga berupaya memberikan solusi yang tepat.
-          Jika kita sedang terdesak dalam kebutuhan finansial, maka dengan ringan ia meminjamkan sebagian dari rezeki yang ia miliki.
-          Jika kita sakit, maka dengan segera ia mengantar kita ke rumah sakit, atau mencarikan obat, atau menyediakan makan.
-          Jika kita sedang menghadapi kesulitan pelajaran di kuliah, maka ia rela meluangkan waktunya guna membantu kita menyelesaikan kesulitan tersebut.
-          Jika kita sedang naik bus dengannya, ia berlomba dengan kita untuk membayarkan ongkos.
-          Jika kita khilaf sehingga menyakiti perasaannya, maka ia bersegera memaafkan kita dan mensucikan hatinya dari busuknya perasaan dendam.
-          Jika ia berbincang, maka dengan tutur kata yang sopan, pintar memilih kata-kata yang manis dan tidak terasa ketus atau menyakitkan.
-          Dia bukanlah tipe orang yang senantiasa berusaha menampakkan kelebihan dirinya keapda orang lain; baik dari sisi materi duniawi maupun keunggulan kecerdasan.
-          Dia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan bawaan dan tabiat teman bergaulnya, selama masih dalam batasan yang diperbolehkan syariat.
Hanya saja, di manakah kita bisa mendapatkan sobat sejati tersebut?
Tatkala kita berbicara tentang realita yang ada. Mau tidak mau kita akan terpaksa mengelus dada, atau mungkin sampai menitikkan air mata akibat rasa pilu tatkala kebingungan mencari sosok tersebut di antara banyak kaum muslimin.
Tapi, menangis bukanlah solusi tepat untuk mengakhiri krisis tersebut! Jalan keluar yang benar adalah: berbuat dan membenahi diri. Solusi tersebut bisa diformulasikan dalam dua tataran; teori dan praktek:
  1. Teori akhlak mulia yang benar, tentunya digali dari warisan orang yang paling mulia akhlaknya; yaitu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Alhamdulillah, para ulama kita tidak melewatkan hal ini dari buku-buku yang mereka tulis. Di antara buku terunggul yang menghimpun hadits-hadits tentang akhlak Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam; Riyâdhush Shâlihin, karya ulama tersohor Imam Nawawi rahimahullah.
Menelaah hadits-hadits yang ada di dalamnya akan sangat membantu kita bersemangat dalam merevisi akhlak kita. Bagaimana tidak? Di dalamnya kita akan diajak untuk membuka mata melihat janji-janji indah bagi mereka yang berakhlak mulia!
Maka seyogyanya ada sebagian waktu yang kita luangkan untuk membaca buku tersebut. Salah satu cara manjur agar program tersebut berkesinambungan dan tidak hangat-hangat kuku; adalah dengan menghadiri kajian yang membahas kitab tersebut. Selain kita akan berdisiplin dan rutin dalam meluangkan sebagian waktu untuk hal itu, kita juga akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dan kesimpulan-kesimpulan indah yang disarikan ustadz dari hadits-hadits yang kita baca, di mana jika kita membaca sendiri tanpa adanya bimbingan ulama, belum tentu bisa menyimpulkan konklusi serupa.
  1. ‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mempraktekkan ilmu dan teori yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Berat memang, kalau kita sudah memasuki tataran praktek. Tapi seandainya kita sudah merasakan nikmat serta lezatnya mempraktekkan ilmu, niscaya itu semua akan terasa ringan, bahkan cenderung untuk ketagihan.
Perjalanan ribuan kilometer harus dimulai dari ayunan langkah pertama. Ilmu yang telah kita miliki praktekkanlah sedikit demi sedikit, niscaya lama-lama akan menjadi bukit.
Jangan lupakan ‘benang merah’ antara kita dengan Allah ta’ala. Budayakan untuk senantiasa minta pertolongan kepada-Nya, sebagaimana yang diteladankan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam dalam doa-doanya:
اللهم َاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allah, tunjukkanlah padaku akhlak yang mulia, karena hanya Engkaulah yang menunjukkan hal itu padaku. Dan jauhkanlah diriku dari akhlak yang buruk, karena hanya Engkaulah yang menjauhkannya dariku”. HR. Muslim dari hadits Ali bin Abi Thalib. 
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, perbuatan dan hawa nafsu yang buruk “. HR. Tirmidzi dari hadits Quthbah bin Malik.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab…
                                                                                      Suatu hari di kota Nabi shallallahu’alaihiwasallam.


[1] Jika ia berargumentasi bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya sunah bukan wajib; maka jawabannya: “Pendapat tersebut kurang dilandasi dalil yang kuat. Atau katakanlah bahwa kita sependapat dengan pandangan tersebut, namun apakah jika shalat berjama’ah di masjid hukumnya adalah sunah, itu berarti bahwa kita berlomba-lomba untuk meninggalkannya? Atau justru seyogyanya kita berlomba-lomba untuk mengamalkan, guna mengumpulkan pundi-pundi pahala? Terus apakah teladan yang dicontohkan oleh para ulama yang berpendapat dengan pendapat tersebut? Adakah di antara mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, dikarenakan sibuk dengan perbuatan yang sia-sia; semisal main game?”.

Rabu, 04 April 2012

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran


Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17] : 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.
Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan,
”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan,
”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,
”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-
Allah Memerintahkan kepada Wanita untuk Menutup Auratnya
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31).
Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Atho’ bin Abi Robbah bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim)
Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
An Nawawi –seorang ulama besar Syafi’iyyah- berkata,
”Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam telah ditetapkan bagian untuk berzina. Di antaranya ada yang berbentuk zina secara hakiki yaitu memasukkan kemaluan kepada kemaluan yang haram. Di samping itu juga ada zina yang bentuknya simbolis (majas) yaitu dengan melihat sesuatu yang haram, mendengar hal-hal zina dan yang berkaitan dengan hasilnya; atau pula dengan menyentuh wanita ajnabiyah (wanita yang bukan istri dan bukan mahrom) dengan tangannya atau menciumnya; atau juga berjalan dengan kakinya menuju zina, memandang, menyentuh, atau berbicara yang haram dengan wanita ajnabiyah dan berbagai contoh yang semisal ini; bisa juga dengan membayangkan dalam hati. Semua ini merupakan macam zina yang simbolis (majas). Lalu kemaluan nanti yang akan membenarkan perbuatan-perbuatan tadi atau mengingkarinya. Hal ini berarti ada zina yang bentuknya hakiki yaitu zina dengan kemaluan dan ada pula yang tidak hakiki dengan tidak memasukkan kemaluan pada kemaluan, atau yang mendekati hal ini. Wallahu a’lam” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
Meninjau Fenomena Pacaran
Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!
Mustahil Ada Pacaran Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.”
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nazhar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat. (Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
Pacaran Mempengaruhi Kecintaan pada Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,
”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »

“Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup
Ibnul Qayyim berkata,
”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.
Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan