Sobat Sejati
Alhamdulillâhi wahdah, wash shalâtu was salâmu
‘alâ man lâ nabiyya ba’dah.
Berebut klaim sobat sejati
“Kriiing… kriiing… kriiing…”, dering hp tidak henti-hentinya berbunyi
nyaring di dekat telinga si A. “Uffhg… siapa sich pagi-pagi buta gini
nelpon, mana musim dingin lagi!”, keluh si A sambil ngeliat layar hpnya.
Ternyata nama si B, sobat karibnya, yang nampak di hpnya. “Ya…”,
jawab si A dengan suara serak-serak orang baru bangun tidur. “Assalamu’alaikum,
dah bangun belum? Dah masuk waktu shubuh nich!”, sambung si B membuka
pembicaraannya. Sambil ngeliat jam tangannya, si A menjawab, “Oh ya, jazakallah
khaira, ente emang sobat sejatiku kawan…”.
“Sstt… ada film baru nich, seru bangeets! Mau gak?” kata si C kepada
si D teman akrabnya, ketika ketemu pas istirahat kuliah. “Wah, boleh
juga tuh… Film apa? Ane jadi penasaran!”, jawab si D sambil bisik-bisik.
“Ntar aja ente liat sendiri, pokoknya seru dech!”, balas si C
manas-manasin. “Okelah, ntar ana ke kamar ente ya… Ente bener-benar sobat
sejatiku!”, sambut si D menutup obrolan singkat pagi itu.
Dua penggal kisah di atas, para pelakunya sama-sama mengklaim bahwa
temannya adalah “sobat sejati”, tapi mana sebenarnya di antara keduanya
yang benar-benar sobat sejati? Mungkin tulisan singkat ini bisa sedikit
menggambarkan barometer yang tepat untuk menghukumi, siapakah sobat
sejati, siapa pula sobat tidak sejati?
Sahabat merupakan kebutuhan penting seorang manusia
Orang Arab berkata, “Al-insân madaniyyun bith thab’i”,
alias: “Manusia adalah makhluk sosial”. Ya, manusia adalah makhluk yang
dalam kehidupannya sehari-hari membutuhkan interaksi dengan pihak lain
dan tidak bisa hidup sendiri. Meskipun intensitas hubungan tersebut
relatif dan berbeda dari satu orang ke orang yang lain.
Berhubung tabiat manusia yang demikian, maka Islam pun tidak
menghalangi manusia untuk menyalurkan instingnya tersebut. Hanya saja
Islam menggariskan rambu-rambu yang dengannya seorang hamba tidak keluar
dari jalur syariat dalam berinteraksi dengan sesama.
Banyak cara yang digunakan Islam dalam menyampaikan norma-norma
tersebut. Di antaranya adalah dengan cara perbandingan antara teman yang
baik dengan teman yang buruk, sebagaimana dalam sabda Rasul shallallahu’alaihiwasallam,
“إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ؛ فَحَامِلُ الْمِسْكِ
إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ
تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ
ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً”. متفق عليه.
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, bagaikan
penjual minyak wangi dan tukang besi. Penjual minyak wangi, jika ia
tidak menghadiahkan padamu minyak wangi, maka engkau akan beli darinya,
atau paling tidak engkau akan ketularan harumnya. Sedangkan tukang besi,
jika bajumu tidak terbakar akibat terkena percikan api yang ada di
tungku besinya, setidak-tidaknya engkau (akan keluar dari tempat
kerjanya) dalam keadaan bau asap”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan
redaksi Muslim, dari hadits Abu Musa al-Asy’ari.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan
bahwa teman yang baik, bagaimanapun juga akan menguntungkan kita,
sedikit atau banyak. Sebagaimana teman yang buruk, apapun kondisinya
akan merugikan kita, sedikit atau banyak.
Tapi, siapakah teman yang baik, siapa pula teman yang buruk?
Barometer sobat sejati
Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mungkin melewatkan
pembahasan ini dari sorotannya. Ada beberapa ayat dan hadits yang
menyinggung hal ini, di antaranya firman Allah ta’ala tatkala
menjelaskan kriteria golongan yang selamat dari kerugian,
“وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ”.
Artinya: “Mereka saling nasehat-menasehati dalam kebenaran”. QS.
Al-’Ashr: 3.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا! قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ
ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ”. متفق عليه.
“Bantulah saudaramu ketika ia berbuat zhalim atau ketika ia
dizhalimi!”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, membantu saudara
kita ketika dizhalimi sudah maklum buat kami, tapi apa maksudnya
membantu dia ketika ia berbuat zhalim?”. Beliau menjawab, “Engkau cegah
ia”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Bukhari, dari hadits
Anas bin Malik.
Sedikit banyaknya, ayat dan hadits di atas serta dalil-dalil lain
yang senada, sudah mulai menggambarkan kepada kita barometer sobat
sejati.
Salah satu kriteria utama sobat sejati adalah: senantiasa
mengajak kita kepada kebaikan dan tidak tinggal diam ketika kita
terjerumus kepada kesalahan. Namun, jika sebaliknya, maka ini
adalah salah satu indikasi terbesar bahwa dia bukanlah sobat sejati
kita. Waspadalah!
- Sobat sejati bukanlah yang mengajak kita untuk
menghabiskan waktu dalam hal-hal yang kurang bermanfaat; semisal main
game sepanjang hari, sampai-sampai shalat berjama’ah di masjid rela
untuk dikorbankan demi kelangsungan permainan tersebut![1]
- Sobat sejati bukanlah yang mendoktrin kita untuk
membangun wala’ dan baro’ (cinta dan benci karena Allah) di atas
kepentingan yayasan, ormas, partai atau almamater.
- Sobat sejati bukanlah yang diam seribu kata dan enggan
untuk mengingatkan kita, tatkala melihat kita terjerumus dalam suatu
kesalahan, entah itu kesalahan dalam akidah, ibadah, manhaj
dakwah maupun akhlak; dengan dalih menjaga tali ukhuwah.
- Sobat sejati bukanlah yang tidak malu atau canggung
untuk berbagi-bagi media maksiat kepada kita, semisal file film, cd
tontonan tidak layak, bluetooth tidak berpendidikan, kaset musik,
literatur ahlul bid’ah, dll.
- Sobat sejati bukanlah yang mencontohkan kepada kita
untuk sering absen dari perkuliahan.
Namun…
- Sobat sejati adalah: ia yang tidak bosan mengajak kita
berlomba-lomba dalam menimba ilmu.
- Sobat sejati ialah: yang senantiasa mengajak kita
semangat untuk beribadah.
- Sobat sejati adalah: yang tidak bakhil untuk nelpon atau
sekedar missed call di waktu-waktu shalat, terutama Ashar dan
Shubuh.
- Sobat sejati ialah: yang tidak segan untuk menegur kita
dengan bahasa yang santun, jika kita keliru.
Tapi, sobat sejati juga ialah yang:
- Jika kita berpapasan dengannya, maka ia bersegera untuk
mengucapkan salam, berjabat tangan dan bermuka manis.
- Jika kita tertimpa kesusahan, maka ia menunjukkan rasa
empatinya.
- Jika kita sedang ada masalah, ia berpengertian untuk
meluangkan waktunya untuk mendengar curahan isi hati kita, juga berupaya
memberikan solusi yang tepat.
- Jika kita sedang terdesak dalam kebutuhan finansial, maka
dengan ringan ia meminjamkan sebagian dari rezeki yang ia miliki.
- Jika kita sakit, maka dengan segera ia mengantar kita ke
rumah sakit, atau mencarikan obat, atau menyediakan makan.
- Jika kita sedang menghadapi kesulitan pelajaran di kuliah,
maka ia rela meluangkan waktunya guna membantu kita menyelesaikan
kesulitan tersebut.
- Jika kita sedang naik bus dengannya, ia berlomba dengan
kita untuk membayarkan ongkos.
- Jika kita khilaf sehingga menyakiti perasaannya, maka ia
bersegera memaafkan kita dan mensucikan hatinya dari busuknya perasaan
dendam.
- Jika ia berbincang, maka dengan tutur kata yang sopan,
pintar memilih kata-kata yang manis dan tidak terasa ketus atau
menyakitkan.
- Dia bukanlah tipe orang yang senantiasa berusaha
menampakkan kelebihan dirinya keapda orang lain; baik dari sisi materi
duniawi maupun keunggulan kecerdasan.
- Dia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan bawaan
dan tabiat teman bergaulnya, selama masih dalam batasan yang
diperbolehkan syariat.
Hanya saja, di manakah kita bisa mendapatkan sobat sejati
tersebut?
Tatkala kita berbicara tentang realita yang ada. Mau tidak mau kita
akan terpaksa mengelus dada, atau mungkin sampai menitikkan air mata
akibat rasa pilu tatkala kebingungan mencari sosok tersebut di antara
banyak kaum muslimin.
Tapi, menangis bukanlah solusi tepat untuk mengakhiri krisis
tersebut! Jalan keluar yang benar adalah: berbuat dan membenahi diri.
Solusi tersebut bisa diformulasikan dalam dua tataran; teori dan
praktek:
- Teori akhlak mulia yang benar, tentunya digali dari warisan orang yang paling mulia akhlaknya; yaitu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Alhamdulillah, para ulama kita tidak melewatkan hal ini dari buku-buku yang mereka tulis. Di antara buku terunggul yang menghimpun hadits-hadits tentang akhlak Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam; Riyâdhush Shâlihin, karya ulama tersohor Imam Nawawi rahimahullah.
Menelaah hadits-hadits yang ada di dalamnya akan sangat membantu kita
bersemangat dalam merevisi akhlak kita. Bagaimana tidak? Di dalamnya
kita akan diajak untuk membuka mata melihat janji-janji indah bagi
mereka yang berakhlak mulia!
Maka seyogyanya ada sebagian waktu yang kita luangkan untuk membaca
buku tersebut. Salah satu cara manjur agar program tersebut
berkesinambungan dan tidak hangat-hangat kuku; adalah dengan menghadiri
kajian yang membahas kitab tersebut. Selain kita akan
berdisiplin dan rutin dalam meluangkan sebagian waktu untuk hal itu,
kita juga akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dan
kesimpulan-kesimpulan indah yang disarikan ustadz dari hadits-hadits
yang kita baca, di mana jika kita membaca sendiri tanpa adanya bimbingan
ulama, belum tentu bisa menyimpulkan konklusi serupa.
- ‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mempraktekkan ilmu dan teori yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Berat memang, kalau kita sudah memasuki tataran praktek. Tapi
seandainya kita sudah merasakan nikmat serta lezatnya mempraktekkan
ilmu, niscaya itu semua akan terasa ringan, bahkan cenderung untuk
ketagihan.
Perjalanan ribuan kilometer harus dimulai dari ayunan langkah
pertama. Ilmu yang telah kita miliki praktekkanlah sedikit demi sedikit,
niscaya lama-lama akan menjadi bukit.
Jangan lupakan ‘benang merah’ antara kita dengan Allah ta’ala.
Budayakan untuk senantiasa minta pertolongan kepada-Nya, sebagaimana
yang diteladankan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam dalam
doa-doanya:
اللهم َاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي
لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ
عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allah, tunjukkanlah padaku akhlak yang mulia, karena hanya
Engkaulah yang menunjukkan hal itu padaku. Dan jauhkanlah diriku dari
akhlak yang buruk, karena hanya Engkaulah yang menjauhkannya dariku”. HR.
Muslim dari hadits Ali bin Abi Thalib.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ
الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, perbuatan dan
hawa nafsu yang buruk “. HR. Tirmidzi dari hadits Quthbah bin
Malik.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab…
Suatu hari di kota Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
[1] Jika ia berargumentasi bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya sunah bukan wajib; maka jawabannya: “Pendapat tersebut kurang dilandasi dalil yang kuat. Atau katakanlah bahwa kita sependapat dengan pandangan tersebut, namun apakah jika shalat berjama’ah di masjid hukumnya adalah sunah, itu berarti bahwa kita berlomba-lomba untuk meninggalkannya? Atau justru seyogyanya kita berlomba-lomba untuk mengamalkan, guna mengumpulkan pundi-pundi pahala? Terus apakah teladan yang dicontohkan oleh para ulama yang berpendapat dengan pendapat tersebut? Adakah di antara mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, dikarenakan sibuk dengan perbuatan yang sia-sia; semisal main game?”.